Wednesday, June 12, 2013

Kawan Penasihat dan Pelawak: Asal Muasal Punakawan

SUARA gamelan berhenti. Bagong masuk ke panggung menemui Petruk. “Truk, Gareng kini punya penyakit aneh. Suka menggigit pantat orang,” kata Bagong. Petruk percaya. Setelah itu, Bagong bertemu dengan Gareng. “Petruk kini berekor,” ujar Bagong mencoba membohongi. Seperti Petruk, Gareng percaya. Keduanya kemudian bertemu. Petruk waspada. Dia menutupi pantatnya dengan tangan. Penasaran, Gareng berusaha melihat pantat petruk.
Keduanya berkejaran, hampir berkelahi. Beruntung, Semar datang menengahi. Mereka akhirnya tahu bahwa Bagonglah dalang keonaran ini. Semar berkata, “Membuat isu atau sas-sus itu tidak baik. Cuma bikin celaka orang dan kisruh.” Adegan-adegan ini terdapat dalam acara Ria Jenaka di TVRI pada 1980-an.­ Sebuah acara yang menjadi corong penguasa untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan melalui tokoh panakawanatau biasa disebut juga punakawan. Tokoh-tokoh wayang yang lekat dengan lawakan dan keanehan bentuk tubuh. Tak seperti awal kemunculannya.
Kemunculan panakawan dalam tradisi seni pertunjukan di Indonesia dapat dilacak pada relief-relief candi dan naskah-naskah kuno Nusantara. Beberapa relief di Candi Prambanan dari abad ke-9, menggambarkan panakawan. Gambar-gambar dalam relief Prambanan mengisahkan tokoh-tokoh utama yang didampingi oleh seorang pengiring. “Para pengiring itu berpenampilan tampan dan cantik,” tulis Edy Sedyawati, guru besar arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam “Panakawan di Masa Majapahit”, makalah padaSeminar Naskah Nusantara tahun 2009.
Para pengiring itu menemani tokoh utama dengan pakaian yang berbeda. Bentuk tubuh mereka normal seperti tokoh utama. Mereka menemani tokoh utama hingga ke hutan. Menurut Edy, inilah arti dasar panakawan, kawan yang diharapkan siap membantu tokoh utama, baik jahat maupun baik, dimanapun. Kawan yang mampu memberikan nasihat kepada tokoh utama. Tetapi istilah panakawan kala itu belum dikenal.
Panakawan berasal dari dua kata, pana dan kawan. “Pana berarti mumpuni, sedangkan kawan dapat berarti seseorang yang cukup dikenal,” tulis Trias Yusuf, staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro dalam “Panakawan Dalam Tradisi Kesenian Pesisir Jawa”, makalah pada Seminar Naskah Nusantara. Menurutnya, istilah ini baru muncul pada masa Yasadipura abad ke-18 di Surakarta. Istilah yang sepadan dengan panakawan tersua dalam Kakawin Gathotkacasraya yang ditulis pada masa Raja Warsajaya dari Kediri (1104-1135).
Kakawin tersebut memuat istilah Jurudyah Punta Prasanta untuk menerangkan pengiring tokoh utama, Abhimanyu. Penyebutan itu merujuk pada satu orang. Kata “Juru” menunjukkan pekerjaan sang pengiring, mengurus atau mengasuh. Kata “Dyah” dapat berarti orang muda keturunan raja-raja. Sementara kata “Punta” merupakan nama depan sang pengiring, dan “Prasanta” nama panggilannya. Tokoh-tokoh dalam kakawin tersebut bersifat historis-mitologis. Artinya, mereka ada walaupun kisah mereka berbalut dengan simbol-simbol dan mitos. 
Profesor Soetjipto Wirjosoeparto, mantan dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menyatakan bentuk tubuh pengiring dalam Gathotkacasraya digambarkan layaknya manusia. “Dalam deskripsinya tidak disebutkan bahwa tampilannya serba aneh dan kocak,” tulis Soetjipto sebagaimana dikutip Edy Sedyawati. Gambaran Ini masih sesuai dengan relief Prambanan. Tugas mereka pun masih jauh dari melawak.
Ketika kemasyhuran Kerajaan Kediri meredup, Kerajaan Majapahit perlahan bersinar. Candi-candi Majapahit segera berdiri di wilayah bekas Kerajaan Kediri. Candi-candi itu memiliki relief yang menggambarkan para pengiring yang agak berbeda dengan masa sebelumnya. Edy Sedyawati menambahkan bahwa beberapa candi yang dibangun pada abad ke-14 seperti Tegawangi, Kedaton, dan Surawarna mulai menampilkan relief adegan pengiring berbadan gemuk.
Dalam relief Candi Tegawangi misalnya, terdapat gambar dua pengiring berbadan gemuk. Pengiring itu masuk dalam relief cerita Sudamala, yaitu cerita ruwatan yang melibatkan Sadewa, salah satu tokoh Pandawa. Kedua pengiring sedang berpacaran dalam posisi yang menggelikan. Seorang pengiring keluarga Pandawa, Semar, mulai dikenal melalui cerita Sudamala dalam relief candi Sukuh tahun 1439 dan Kakawin Sudamala.
Berbadan serba bulat, berbibir maju, dan bermata besar, Semar tak melulu memberikan nasihat, melainkan juga humor untuk tuannya. Dengan demikian, Sedyawati berkesimpulan bahwa tokoh panakawan yang berbentuk tidak lazim, namun bersifat lucu mulai muncul kala Majapahit.
Memasuki masa kesultanan Islam, para wali mengenalkan para pengiring dengan bentuk dan fungsi yang berbeda itu ke dalam wayang. Menurut Ronit Ricci, peneliti pada Universitas Michigan, dalam “Conversion to Islam on Java”, Jurnal KITLV, Vol. 195 No. 1 (2009), “Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sering dianggap perekacipta pengiring tersebut dalam pertunjukan wayang.” Kedua sunan di tanah Jawa ini membalut kisah Ramayana, Mahabarata, dan Sudamala dengan ajaran Islam. Padahal, kisah Ramayana dan Mahabarata versi India sama sekali tidak menyertakan pengiring untuk tokoh utamanya. Apalagi sampai yang berbentuk aneh.
Selain Semar, pada masa itu muncul pula nama-nama pengiring lain seperti Petruk, Gareng, dan Bagong. Mereka tidak hanya sekadar penasihat tokoh-tokoh utama, tapi juga berlakon sebagai pelawak-cum-kritikus. Sebab, lawakan mereka hanyalah alat penyampai kritik sang pujangga atau dalang. Gambaran tokoh ini semakin banyak ditemukan dalam karya-karya sastra masa Yasadipura seperti Wedatama. Mereka kemudian dikenal dengan nama panakawan.
Memasuki abad ke-20, panakawan populer dalam pertunjukan wayang, ketoprak, dan seni pertunjukan lainnya. Penonton selalu menunggu kehadiran mereka. Tak heran, penguasa Orde Baru menggunakannya sebagai corong propaganda dalam acara Ria Jenaka. 


Tuesday, June 11, 2013


Sejarah Ditemukannya Sepeda

Menurut sejarah, sepeda ditemukan di Perancis pada akhir abad 18. Di negeri itu, alat transportasi roda dua ini dinamai velocipede. Selama bertahun-tahun, velocipede menjadi satu-satunya istilah yang merujuk hasil rancang bangun kendaraan roda dua. Tapi menurut sumber lain, konon sepeda pertama kali ditemukan di Inggris sekitar tahun 1970.
Saat pertama diciptakan, jangan membayangkan sepeda itu sudah lengkap seperti sepeda-sepeda yang kalian miliki sekarang. Yang disebut sepeda pada waktu itu adalah dua papan berbentuk bulat yang berfungsi sebagai roda kemudian dihubungkan dengan rangka kayu untuk menyatukan keduanya. Bisa dibayangkan, betapa canggung dan besar tampilan sepeda pada zaman itu. Cikal bakal sepeda ini kemudian diberi nama Hobby Horses dan Celeriferes.

Pada tahun 1818, seorang mahasiswa matematika dan mekanik di Heidelberg, Jerman bernama Baron Karls Drais von Sauerbronn menyempurnakan velocipede hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan. Drais memberi sebuah system yang memungkinkan roda depan bisa berbelok kekanan atau kekiri. Dengan mengambil tenaga gerak dari kedua kaki, Drais mampu meluncur lebih cepat saat berkeliling kebun. Sepeda bikinan Drais ini dijuluki “dandy horse” (kuda gaya). Drais sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama, Draisienne.

Proses penciptaan selanjutnya dilakukan oleh Kirkpatrick Macmillan. Saat itu pada tahun 1839, di Inggris, Mac Milan yang bekerja sebagai pandai besi mulai berpikir untuk membuat sepeda yang lebih baik. Kemudian, Mac Milan berhasil membuat sepeda yang dapat bergerak tanpa menapakkan kaki ke tanah. Ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan dan meletakan sebuah pedal kayu untuk menggerakannya roda. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal yang ada.

Sementara itu, di kota Paris, Prancis, seseorang yang bernama Kirkpatrick Macmillan juga sedang berusaha untuk memodifikasi sepeda buatan Drais. Michaux dan putranya membuat sepeda yang dijalankan dengan pedal. Sepeda buatan Michaux memperoleh sambutan luar biasa. Dengan pedal, mengendarai sepeda menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Agar sepeda dapat berlari kencang, maka ia memperbesar roda depannya.

Kendaraan ini semakin sempurna setelah seorang Prancis lainnya yang bernama Pierre Lallement memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya (sekarang dikenal sebagai pelek atau velg) pada tahun 1865. Lallement juga yang memperkenalkan sepeda dengan roda depan lebih besar daripada roda belakang.

Pada tahun 1870, James Starley mulai membuat sepeda dengan roda depan yang sangat besar sedang roda belakangnya sangat kecil. Kemudian Starley berhasil membuat terobosan dengan mencipta roda berjari-jari dan metode cross-tangent. Dengan sistem jari-jari pada roda, Starley bisa menghemat material kayu dan membuat sepeda lebih ringan untuk dikendarai. Sayangnya, sepeda dengan roda yang besar itu memiliki banyak kekurangan. Karena posisi pedal dan jok yang cukup tinggi, kaum wanita dan orang-orang yang tidak begitu tinggi mengeluhkan kesulitan untuk mengendarainya.

Untunglah pada tahun 1886 kekurangan itu diperbaiki oleh keponakan Starley yang bernama John Kemp Starley. Ia berhasil membuat sepeda yang lebih aman untuk dikendarai oleh siapa saja. Ia memasang rantai dan menyamakan besarnya roda depan dan belakang. Penemuan yang tak kalah penting juga dilakukan John Boyd Dunlop pada tahun 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat. Kemudian laju sepeda pun tak lagi berguncang dan beragam bentuk sepeda berhasil diciptakan.

Penemuan berikutnya yang ikut menyumbang teknologi persepedaan, yakni seperti rem, perbandingan gigi yang bisa dipindah-pindah, rantai, setang yang bisa digerakkan dan masih banyak lagi yang membuat sepeda makin nyaman untuk dikendarai. Sejak itu semakin banyak orang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Meskipun kini fungsinya mulai digantikan oleh sepeda motor maupun mobil, namun sepeda tetap mempunyai cukup banyak penggemar.

Dari beberapa sumber

Monday, June 10, 2013

Leo Fender Sang Revolusioner

GITARIS legendaris Eric Clapton mengaku salah persepsi terhadap gitar Fender Stratocaster. Dia pernah ogah memainkannya karena neck (leher) gitar itu sempit sehingga menyulitkannya melakukanbending (menekan dan menarik senar untuk menaikkan atau menurunkan nada). Selain itu, bahan neck Strat, sebutan populer Fender Stratocaster, terbuat dari kayu rosewood, sementara dia lebih suka kayu eboni.

Namun, pada 1970, Eric Clapton akhirnya menjajal Strat. Dan limabelas tahun kemudian, namanya diabadikan dalam seri gitar Stratocaster Eric Clapton Signature yang diminati banyak orang.

Menurut Clapton, Stratocaster mempermudah orang bermain gitar. “Leo Fender berada jauh di depan siapa pun, mengembangkan Strat hingga ke titik di mana dia tak bisa disempurnakan lagi, bahkan hingga kini,” tulis Clapton dalam pengantar buku The Stratocaster Chronicles: Fender. Celebrating 50 Years of the Fender Strat.

Clarence Leo Fender lahir di Santa Ana, California, pada 10 Agustus 1909. Sejak usia 13 tahun, dia hobi elektronik, yang ditularkan pamannya, pemilik toko audio-mobil. Ketika dewasa, setelah gonti-ganti pekerjaan, dia akhirnya membuka bengkel servis radio Fender Radio Service (FRS) pada 1938. Leo juga membuat, menjual, dan menyewakan Public Address System –alat penghubung yang dipakai untuk menyampaikan pengumuman. Ketika tahu penguat suara pada alat musik kala itu punya kelemahan, terbersitlah ide untuk mengembangkannya. Bersama Clayton Kauffman, dia mendirikan perusahaan alat musik K&F Manufacturing Corporation.

Clayton Kauffman seorang pemain gitar lap steel (yang didesain khusus untuk dimainkan dengan posisi dipangku) yang bekerja di Rickenbacker Guitar. Dia juga dikenal sebagai pencipta vibrola tailpiece, cikal bakaltremolo –tempat untuk meletakkan senar (bridge) pada gitar listrik.

K&F sukses dengan gitar dan penguat suaranya (amplifier). Pada 1944, keduanya mengajukan paten gitar lap steel yang dilengkapi pick up (komponen yang menyalurkan suara dari gitar ke penguat suara), namun baru dikabulkan empat tahun kemudian. Awal 1946 Kauffman keluar karena tak sepaham dengan Leo agar perusahaan fokus pada pembuatan dan penjualan alat musik dan penguat suara.

Leo berjalan sendiri. Dia mengganti nama perusahaannya menjadi Fender Electric Instrument Company (FEIC). Dia memasarkan penguat suara Deluxe, The Professional, dan Dual Professional. Pada 1948, Leo memproduksi penguat suara praktis Champion yang kemudian melegenda.

Selain penguat suara, Leo mengembangkan gitar. Pada 1950, dia merilis gitar elektrik solid-body, yang berbentuk gitar Spanyol, bernama Fender Esquire. Pada tahun yang sama, dia meluncurkan gitar terbarunya, Broadcaster –yang kemudian ganti nama jadi Nocaster dan lalu Telecaster. Berbeda dari pendahulunya, gitar ini memiliki dua pick up dan neck model truss rod yang di dalamnya terdapat besi baja untuk menstabilkanneck. Gitar ini juga populer, antara lain dipakai gitaris Muddy Waters. Setahun kemudian, dia merilis gitar bass elektrik solid-body pertamanya, Precision, dengan bobot lebih ringan dan body lebih kuat, serta dilengkapi pick up.

Untuk menjawab keluhan terhadap gitar Telecaster, Leo meluncurkan Stratocaster pada 1954. Strat memiliki tiga pick up; body berkontur dan bersayap yang kala itu marak digunakan pada mobil; dan bridge modelvibrato tailpiece. Pasar menyambut positif. Gitaris-gitaris hebat jadi penggunanya, dari Jimi Hendrix hingga Yngwie Malmsteen. Sebagai strategi pemasaran, FEIC membuat sejumlah seri gitar berlabelkan nama gitaris kondang.

Namun, karena kesehatannya memburuk, Leo menjual Fender kepada Columbia Broadcasting System (CBS) pada 1964. Namun, dia ternyata tak bisa diam. Dia mendirikan perusahaan Tri-Sonics (kemudian ganti nama jadi Musicman) dan G&L Guitars. Dia tetap keranjingan kerja bahkan hingga sehari sebelum kematiannya pada 21 Maret 1991

http://historia.co.id/artikel/persona/1226/Majalah-Historia/Leo_Fender_Sang_Revolusioner

Sejarah "Papah" dan "Mamah"
Dari manakah asal panggilan papah dan mamah?
Menurut Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia Volume 5-8 terbitan 1984pada masa kolonial Belanda, orang yang berpendidikan Belanda memakai kata sapaan mammie dan pappiemamma dan pappa, atau mammaatjedan pappaatje. Dari kata sapaan itu lahirlah mami dan papi atau mama dan papa.
“Panggilan tersebut dipandang sebagai pembeda antara orang berpendidikan Belanda dengan yang tidak. Akan lucu rasanya (sebenarnya) bila ibu dan bapak tidak tahu/menguasai bahasa Belanda, tetapi menyuruh anak-anaknya memanggil mereka dengan sapaan mami dan papi,” tulis majalah tersebut. “Namun, hal itu juga yang kita lihat dalam masyarakat.”
Dewasa ini, lanjut majalah tersebut, kata sapaan yang banyak dipakai oleh keluarga ialah mama dan papa, apalagi di kota-kota besar. “Panggilan papa dan mama seolah-olah juga menunjukkan status bahwa keluarga itu keluarga modern. Orang tua ibu dan bapak dipanggil opa dan oma, bukan kakek dan nenek, kata baku bahasa Indonesia ragam resmi.”
Di Jawa Barat panggilan mami/papi dan mama/papa menjadi mamih/papih dan mamah/papah. Ini terjadi karena pengaruh bahasa Sunda, yang kerap memberikan imbuhan huruf “h”, baik pada awal, tengah, maupun akhir kata. Seperti ayam menjadi hayam (h, di awal), buaya menjadi buhaya (h, di tengah), dan rapi jadi rapih (h, di akhir). Tentu saja, sapi tetap sapi, kalau sapih, artinya “menyarak atau menghentikan anak menyusu.”
Panggilan papa/mama atau papah/mamah tidak lagi eksklusif bagi keluarga modern. Keluarga-keluarga di desa pun tak sungkan menggunakannya. Belakangan muncul sapaan baru, biasanya dipakai di lingkungan “Islami”, yang diambil dari bahasa Arab: abi (ayah/bapak) dan umi (ibu). Menariknya, Luthfi, yang berasal dari lingkungan tersebut, lebih memilih panggilan papah/mamah, ketimbang abi/umi

Sumber: Historia.co.id 

Sejarah Jengkol

Jengkol merupakan tumbuhan asli daerah tropis di Asia Tenggara. Selain di Indonesia, ia tumbuh di Malaysia (disebut jering, jiring), Thailand (cha niang), Myanmar (danyin), dan Nepal (dhinyindi).
Kegemaran masyarakat Nusantara memakan jengkol sudah terjejaki lama. Letnan Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), misalnya, sudah menyebut jengkol sebagai bahan makanan di Jawa, selain pete dan komlandingan (lamtoro).
Karel Heyne, ahli botani Belanda, juga menyebutkan soal jengkol dalam karyanya, yang terbit pada 1913, De nuttige palnten van Nederlandsch Indie, berisi tumbuh-tumbuhan yang banyak digunakan dan memiliki nilai komersial di Hindia Belanda. Dalam buku yang kemudian diterbitkan Departemen Kehutanan dengan judul Tumbuhan Berguna Indonesia (1988), dia menulis jengkol dengan tinggi hingga 26 meter tumbuh di bagian barat Nusantara, dibudidayakan penduduk di Jawa atau tumbuh liar di beberapa daerah. Jengkol bisa tumbuh baik di daerah dengan musim kemarau sedang sampai keras; tapi tak tahan musim kemarau panjang.
“Biji disenangi oleh penduduk tetapi tidak oleh orang Eropa; bijinya jarang dikemukakan tanpa keterangan tambahan ‘berbau busuk’ (Bel. stinkende),” tulis Heyne. “Biji yang sangat muda dan tua dimakan sebagai lauk, yang … pada umumnya dimasak.”
Ahli botani Jerman Justus Karl Hasskarl, sebagaimana dikutip Heyne, mengemukakan bahwa menurut penilaian orang Eropa biji jengkol tak enak rasanya; tapi penduduk senang sekali biji ini. “Bau air kencing orang yang makan biji ini memiliki bau yang keras,” kata Hasskarl, “bau yang keras ini di tempat kencing selama beberapa hari tidak hilang.”
Seperti penulis lainnya, Hasskarl menyebut bahwa kesenangan makan jengkol bisa mengakibatkan bisul dan penyakit kajengkolan (susah dan sakit ketika buang air kecil).
Dokter dan ilmuwan Belanda AG Vorderman, memberikan keterangan tentang jengkol: “Bijinya disamping banyak karbohidrat (Zetmeel) mengandung juga minyak atsiri, kalau orang makan biji ini dapat menyebabkan keracunan, menyebabkan hyperaemie ginjal atau pendarahan ginjal dan pengurangan atau penghentian keluarnya air kencing serta kejang kandung kencing (Blaaskrampen).
Menurut Vorderman, jengkol beweh memiliki sifat yang merugikan –di Bogor disebut jengkol sepi. “Jengkol beweh adalah biji yang telah tua setelah dibenam dalam tanah selama 14 hari sampai mulai berkecambah,” kata Vorderman, sebagaimana dikutip Heyne. 
Menurut Heyne, keterangan itu kurang tepat karena tujuan membenam biji jengkol yang sudah tua justru untuk mengurangi sifat-sifat merugikan. Sifat merugikan dari jengkol juga dapat berkurang dengan cara dibuat keripik jengkol. Caranya: biji yang tua direbus, dipukul palu hingga tipis, kemudian dijemur di bawah terik matahari. Setelah itu tinggal digoreng dengan sedikit tambahan garam. “Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perlakuan demikian akan mengurangi bahaya karena minyak atsirinya akan menguap sebagai akibat cara pengolahan ini,” tulis Heyne.
Dan tentu saja olahan dari jengkol yang paling populer adalah semur jengkol. Caranya biasanya sama seperti membuat keripik jengkol. Tapi setelah dipipihkan kemudian dimasak dengan bumbu semur yang telah disiapkan.

Sumber: historia.co.id 
http://historia.co.id/artikel/modern/1237/Majalah-Historia/Baunya_Sejarah_Jengkol