Jengkol merupakan tumbuhan asli daerah tropis di Asia Tenggara. Selain di Indonesia, ia tumbuh di Malaysia (disebut jering, jiring), Thailand (cha niang), Myanmar (danyin), dan Nepal (dhinyindi).
Kegemaran masyarakat Nusantara memakan
jengkol sudah terjejaki lama. Letnan Gubernur Hindia Belanda Thomas
Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), misalnya, sudah menyebut jengkol sebagai bahan makanan di Jawa, selain pete dan komlandingan (lamtoro).
Karel Heyne, ahli botani Belanda, juga menyebutkan soal jengkol dalam karyanya, yang terbit pada 1913, De nuttige palnten van Nederlandsch Indie,
berisi tumbuh-tumbuhan yang banyak digunakan dan memiliki nilai
komersial di Hindia Belanda. Dalam buku yang kemudian diterbitkan
Departemen Kehutanan dengan judul Tumbuhan Berguna Indonesia
(1988), dia menulis jengkol dengan tinggi hingga 26 meter tumbuh di
bagian barat Nusantara, dibudidayakan penduduk di Jawa atau tumbuh liar
di beberapa daerah. Jengkol bisa tumbuh baik di daerah dengan musim kemarau sedang sampai keras; tapi tak tahan musim kemarau panjang.
“Biji disenangi oleh penduduk tetapi
tidak oleh orang Eropa; bijinya jarang dikemukakan tanpa keterangan
tambahan ‘berbau busuk’ (Bel. stinkende),” tulis Heyne. “Biji yang sangat muda dan tua dimakan sebagai lauk, yang … pada umumnya dimasak.”
Ahli botani Jerman Justus Karl Hasskarl,
sebagaimana dikutip Heyne, mengemukakan bahwa menurut penilaian orang
Eropa biji jengkol tak enak rasanya; tapi penduduk senang sekali biji
ini. “Bau air kencing orang yang makan biji ini memiliki bau yang
keras,” kata Hasskarl, “bau yang keras ini di tempat kencing selama
beberapa hari tidak hilang.”
Seperti penulis lainnya, Hasskarl menyebut bahwa kesenangan makan jengkol bisa mengakibatkan bisul dan penyakit kajengkolan (susah dan sakit ketika buang air kecil).
Dokter dan ilmuwan Belanda AG Vorderman, memberikan keterangan tentang jengkol: “Bijinya disamping banyak karbohidrat (Zetmeel) mengandung juga minyak atsiri, kalau orang makan biji ini dapat menyebabkan keracunan, menyebabkan hyperaemie ginjal atau pendarahan ginjal dan pengurangan atau penghentian keluarnya air kencing serta kejang kandung kencing (Blaaskrampen).”
Menurut Vorderman, jengkol beweh memiliki sifat yang merugikan –di Bogor disebut jengkol sepi. “Jengkol beweh
adalah biji yang telah tua setelah dibenam dalam tanah selama 14 hari
sampai mulai berkecambah,” kata Vorderman, sebagaimana dikutip Heyne.
Menurut Heyne, keterangan itu kurang
tepat karena tujuan membenam biji jengkol yang sudah tua justru untuk
mengurangi sifat-sifat merugikan. Sifat merugikan dari jengkol juga
dapat berkurang dengan cara dibuat keripik jengkol. Caranya: biji yang
tua direbus, dipukul palu hingga tipis, kemudian dijemur di bawah terik
matahari. Setelah itu tinggal digoreng dengan sedikit tambahan garam.
“Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perlakuan demikian akan
mengurangi bahaya karena minyak atsirinya akan menguap sebagai akibat cara pengolahan ini,” tulis Heyne.
Dan tentu saja olahan dari jengkol yang
paling populer adalah semur jengkol. Caranya biasanya sama seperti
membuat keripik jengkol. Tapi setelah dipipihkan kemudian dimasak dengan
bumbu semur yang telah disiapkan.
Sumber: historia.co.id
http://historia.co.id/artikel/modern/1237/Majalah-Historia/Baunya_Sejarah_Jengkol
No comments:
Post a Comment